loading...
loading...
Mengapa poligami sebegitu menyakitkan?Menurut Pingkan C. B. Rumondor, Psikolog Klinis Dewasa dan Dosen di Jurusan Psikologi, Binus University, Jakarta, penelitian evolusi menemukan bahwa manusia bukan makhluk yang monogami (setia pada satu pasangan) secara genetik. Manusia adalah makhluk yang lebih ke social monogamy, yaitu monogami karena norma sosial. Salah satu bentuk monogami sesuai norma ialah pernikahan.
"Dalam hukum, setidaknya hukum perkawinan di Indonesia, pernikahan dilihat sebagai persatuan suami dan istri untuk membangun keluarga. Dari sudut pandang psikologi, pernikahan menjadi sarana pemenuhan kebutuhan akan kasih sayang, dan sarana berbagi tanggung jawab dan saling mendukung menjadi orangtua. Bahkan pernikahan yang bahagia turut berdampak pada kebahagiaan dan kesehatan individu yang menjalaninya," ujar Pingkan dalam korespondensinya dengan vemale.com.
Pingkan C. B. Rumondor/Dok.PribadiPingkan C. B. Rumondor/Dok.Pribadi
Pada dasarnya, saat manusia saling tertarik dan mulai membina hubungan !ntim yang monogami, terbangun ikatan emosional (attachment) dengan pasangannya. Ikatan ini bukan sekadar perasaan (emosi) seperti bahagia, atau cinta saja, tapi juga melibatkan kerja hormon, misalnya hormon oksitosin.
Dari sudut pandang evolusi, ikatan ini penting untuk membina rasa saling percaya dan pada akhirnya mendapatkan rasa aman untuk bisa survive di dunia. Sehingga menjadi wajar, kita komitmen dilanggar maka timbul rasa sakit hati karena kepercayaan dikhianati.
"Perasaan sakit hati ini bukan sekadar emosional belaka, tapi bagian otak yang 'aktif' saat kita sakit fisik, misal terkena air panas, juga menjadi aktif saat seseorang mengalami penolakan sosial," tambahnya.
Ditambahkan pendiri situs setipe.com ini dibutuhkan kesiapan mental untuk bisa menjalani kehidupan hubungan monogami yang langgeng. Pertama-tama, kedua belah pihak perlu punya persepsi yang sama tentang pernikahan, yaitu sama-sama memandang pernikahan sebagai komitmen untuk monogami --hubungan eksklusif, selain ikatan psikologis, juga ikatan s3ksual.
"Setelah itu, untuk menjaga komitmen, maka pasangan perlu memiliki skill untuk menjaga relasi pernikahan tetap berkualitas dan memuaskan," jelas Pingkan.
Skill yang bisa membantu antara lain: komunikasi (kemampuan mendengarkan, mengungkapkan perasaan), resolusi konflik, mengenali pasangan, life skills (kemampuan menjalani keseharian hidup: mempertahankan pekerjaan, menjaga kesehatan), self management (mengenali kekuatan dan kelemahan diri), s3x and romance, serta manajemen stres.
Sumber : vemale.com
loading...
Wahai Para Istri, Relakah Anda Dipoligami?
4/
5
Oleh
Feri Kurniawan