loading...
loading...
Saya pernah mendapatkan pasien yang memutuskan untuk berobat umum karena tidak sanggup antri di sebuah RSUD yang menjadi langganannya. Beliau adalah seorang PNS yang berobatnya dulu selalu menggunakan ASKES. Kini setelah beralih menjadi BPJS, pasien yang ditangani di RSUD tersebut meningkat drastis, waktu tunggu menjadi panjang tapi waktu konsultasi justru semakin pendek. Keluhan pasien itu: “Saya ketemu dokter disana hanya beberapa menit dok, diperiksa juga ngga, dokternya cuma tanya ada keluhan apa tidak, tulis rekam medis, lantas kasih resep. Resepnya sama, itu-itu juga, jadinya saya malas berobat. Saya ingin memastikan dok, apakah saya masih perlu berobat rutin untuk sakit jantung yang saya derita.”
Ternyata pasien ini pernah mengeluhkan nyeri dada sekitar 5 tahun yang lalu, saat itu dikatakan serangan jantung dan harus dirawat. Setelahnya pasien berobat rutin setiap bulan mengkonsumsi obat-obatan untuk penyakit jantung koroner yang dideritanya. Keluhan nyeri dada tidak pernah dirasakan kembali. Faktor risiko ke arah jantung koroner tidak ada, saya periksa EKG hasilnya normal. Akhirnya saya sarankan pemeriksaan Treadmill Stress Test. Pada pemeriksaan ini anda diminta untuk berlari diatas sebuah treadmill sambil dilakukan monitoring tekanan darah, gambaran EKG, dan keluhan. Beban latihan kemudian ditingkatkan perlahan sambil dilihat apakah ada muncul perubahan tekanan darah yang abnormal, gangguan irama jantung, atau tanda-tanda jantung kekurangan oksigen pada aktivitas fisik yang berat. Setelah diperiksa, ternyata hasilnya normal. Tidak ada temuan ke arah PJK atau gangguan irama, kebugarannya juga sangat baik untuk orang seusianya. Pasien ini tidak memiliki PJK dan tidak perlu mendapat pengobatan.
Wow, 5 tahun pasien ini terus berobat mendapatkan obat yang sebenarnya tidak perlu dikonsumsi. Sungguh buang-buang waktu dan uang yang sangat besar.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah dimana letak masalahnya?
Baru kemarin saya ngobrol dengan seorang dokter senior yang bercerita bahwa layanan kesehatan di banyak rumah sakit saat ini kacau balau. Alasannya dokter spesialis yang bekerja di banyak Rumah Sakit, terutama RSUD menangani terlalu banyak pasien. Bayangkan sehari bisa 150-200 pasien ujarnya.
Saya coba hitung layanan ideal yang seharusnya di berikan. Pemeriksaan pasien umumnya membutuhkan waktu 10 s/d 15 menit. Berarti dalam sejam seorang dokter sewajarnya bisa periksa 4-6 pasien. Jika dokter tersebut bekerja dari jam 8 pagi hingga jam 4 sore. Artinya sang dokter bekerja 8 jam, kurangi jam istirahat untuk makan siang dan sholat Dhuhur waktu jam kerja efektif sekitar 7 jam atau 420 menit/hari. 7 jam dikalikan 4-6 pasien = 28-42 pasien / hari. Itu jumlah ideal pasien yang bisa ditangani dalam waktu 7 jam. Sekarang jika di RSUD tersebut seorang dokter spesialis menangani 50 pasien sehari, artinya 420/50 = 8 menit, 24 detik. Jika dokter tersebut menangani 100 pasien sehari, artinya 420/100 = 4 menit, 12 detik / pasien. Jika dokter tersebut menangani 150 pasien sehari, artinya 420/150 menit= 2 menit, 48 detik / pasien.
Apakah mungkin layanan kesehatan berkualitas bisa diberikan dengan waktu konsultasi hanya 2-4 menit? Apakah mungkin mereview rekam medis pasien, menegakkan diagnosis, memesan pemeriksaan penunjang yang tepat, atau memberikan obat yang tepat dalam waktu 2-4 menit? Tentunya tidak. Karena itu wajar jika kasus seperti diatas sangat mungkin terjadi di RSUD yang pasiennya dari dulu, apalagi sekarang, selalu OVERLOAD.
Disinilah menurut saya organisasi profesi harus memiliki peranan untuk menjaga kualitas layanan kesehatan. Tidaklah mungkin seseorang bisa memberikan layanan yang baik dalam waktu yang sangat singkat. Jika hal ini terus dibiarkan, ada beberapa kemungkinan yang mungkin terjadi:
1. Salah diagnosis, salah obat. Contohnya seperti kasus yang menimpa pasien saya diatas.
2. Gagal terdiagnosis, penyakit pasien tambah parah, angka kematian meningkat.
3. Layanan buruk, pasien datang ke dokter bukannya mendapatkan kejelasan tentang sakitnya apa, malahan manyun (cemberut) karena begitu diperiksa sudah langsung disuruh keluar oleh dokter.
Jika problem ini terjadi di banyak RS, tentunya biaya kesehatan yang timbul akibat pengobatan salah sasaran akan semakin besar, penyakit yang gagal terdiagnosis lantas memburuk juga akan meningkatkan angka kematian dan menghasilkan biaya berobat yang lebih besar dikemudian hari. Ujungnya adalah citra dokter Indonesia semakin hancur dan tercoreng. Ini semua adalah masalah serius yang harus diselesaikan secepatnya, entah kenapa Kemenkes, Ikatan Dokter Indonesia, atau BPJS tidak melihat ini sebagai sebuah permasalahan serius.
Solusinya menurut saya sederhana:
1. Jika PB Ikatan Dokter Indonesia perduli untuk mempertahankan kualitas layanan kesehatan yang diberikan anggotanya, IDI harus membuat standar layanan minimal yang salah satunya mengatur berapa banyak pasien yang dapat ditangani anggotanya dalam sehari / perjam.
2. Jika Kementrian Kesehatan Republik Indonesiaperduli dan ingin menekan angka kesakitan dan kematian warga Indonesia yang berobat ke RS, maka Kemenkes seharusnya buat aturan yang mengatur hal serupa.
3. Jika BPJS Kesehatan perduli dan ingin menekan pengeluaran yang tidak perlu, maka BPJS akan membuat aturan yang membatasi jumlah peserta maksimal yang bisa dikelola oleh seorang dokter di hari yang sama.
Kalau anda merasa hal diatas itu ngga jadi masalah ya silahkan dibiarkan layanan kesehatan di Indonesia tetap kacau balau seperti sekarang. Tapi kalau anda merasa ini masalah yang harus diselesaikan bersama, silahkan share status ini dan bantu sampaikan ke pihak terkait sehingga mereka bisa merubah keadaan.
loading...
Inikah yang terjadi di Kota Anda??
4/
5
Oleh
Unknown
3 comments